Pakai Gross Split, Perusahaan Migas Tunggu Aturan Tambahan Bagi Hasil
Aturan penambahan split dianggap penting bagi investor untuk mengetahui keekonomian sebuah proyek migas.
Pelaku minyak dan gas bumi (migas) yang tergabung dalam Indonesian Petroleum Association (IPA) menyambut baik terbitnya PP Nomor 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split. IPA menilai aturan tersebut cukup mengakomodir beberapa masukan pelaku migas mengenai perpajakan gross split.
Namun, IPA masih menunggu adanya aturan penambahan bagi hasil (split), sebagai kompensasi dari pajak-pajak tidak langsung yang dibayar kontraktor pada masa produksi. Penambahan split ini tidak diatur detail dalam PP Nomor 53 Tahun 2017.
Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong mengatakan aturan penambahan split itu penting bagi investor untuk mengetahui keekonomian sebuah proyek migas. “Hal ini sangat penting dan dibutuhkan oleh para investor sehingga kepastian keekonomian sebuah proyek migas dapat lebih pasti dan terjaga,” kata Marjolijn kepada Katadata, Jumat (29/12).
Untuk itu ia berharap agar Kementerian ESDM dapat menerbitkan peraturan terkait penambahan split tersebut. “IPA mengharapkan agar ESDM dapat menerbitkan peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan hal tersebut secepatnya,” ujarnya.
Ditemui terpisah, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan penambahan split sebagai bentuk kompensasi pembayaran pajak saat masa produksi sudah diatur secara garis besar dalam pasal 31 PP 53/2017.
Dalam aturan itu disebutkan Menteri ESDM dapat melakukan penyesuaian terhadap besaran bagi hasil serta menetapkan bentuk dan besar insentif kegiatan hulu migas berdasarkan pertimbangan keekonomian lapangan.
Untuk mengakomodir hal itu, saat ini Kementerian ESDM tengah mengevaluasi Permen ESDM Nomor 52/2017 tentang gross split. “Kami sedang berdiskusi apakah cukup permen yang sekarang itu membunyikannya atau perlu diubah, kami masih mengkaji,” kata Arcandra.
Insentif gross split
Di dalam PP Nomor 53 Tahun 2017, pemerintah memberikan sejumlah insentif pajak kepada kontraktor migas. Berbagai insentif seperti pembebasan pajak pada tahap eksplorasi dan eksploitasi hingga dimulainya produksi. Selain itu pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPN Barang Mewah atas perolehan dan pemanfaatan jasa operasi migas.
Kontraktor juga tidak dipungut Pajak penghasilan (PPh) pasal 22 atas impor barang operasi migas dan pengurangan PBB hingga 100%. Pemerintah juga memberikan tax lost carry forward atau kompensasi kerugian pajak yang diperpanjang dari 5 tahun menjadi 10 tahun.
Pendiri Refominer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan substansi aturan pajak gross split sudah positif. Namun tidak berarti KKKS akan tertarik dengan hal itu. Dalam mengambil keputusan investasi, kata dia, investor melibatkan banyak variabel, seperti kredibiltias pemerintah dan aturan main kebijakan. Apalagi tata cara penghitungan pajak gross split juga membutuhkan aturan turunan seperti Peraturan Menteri.
“Dalam hal PP pajak gross split dan insentif-insentifnya ini kami masih perlu lihat lebih jauh di dalam implementasinya, karena dalam beberapa hal seperti tata cara dan penentuannya masih perlu peraturan menteri untuk melaksanakannya,” kata Pri Agung saat dihubungi Katadata.
Untuk itu ia beranggapan dengan keluarnya aturan pajak gross split belum tentu dapat membuat investasi hulu migas menarik. Misalnya dalam konteks lelang wilayah kerja migas saat ini. Pri mengatakan blok-blok migas yang diminati dan diambil dokumennya oleh investor bukanlah tolak ukur bahwa skema gross split sebagai hal yang menarik.
“Belum tentu yang jadi pemenang lelang itu nantinya benar-benar menjalankan komitmen investasi untuk eksplorasi dan eksploitasi. Jadi, yg diperlukan itu adalah bahwa yang berminat adalah benar-benar perusahaan minyak bonafide,” kata dia.
sumber: katadata.co.id